Tak dapat dipungkiri bahwa energi sangat
fundamental bagi peradaban dan tidaklah berlebihan bila dikatakan energi
merupakan penopang kehidupan manusia. Energi sangat terkait dengan bagaimana
cara kita bekerja, cara kita bepergian, dan cara kita berkomunikasi. Tanpa
energi, hhhmmm… lampu mati. Tanpa energi, hidup kita hampir tak bisa dikenali.
Salah satu faktor pembentuk masa depan adalah
permintaan energi global yang meningkat - dan akan terus meningkat (ref.: Badan
Energi Internasional, IEA percaya bahwa permintaan energi sekitar dua kali
lipat pada tahun 2050). Atau menurut laporan BP, konsumsi energi primer di Asia
Pasifik diprediksi akan meningkat 63,4 persen menjadi 7.8 miliar setara ton
minyak di tahun 2030. Bayangkan populasi dunia diperkirakan tumbuh dari sekitar
7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada petengahan abad ke-21. Semakin banyak
pulalah kebutuhan kita akan listrik, TV, kulkas, dan kesempatan untuk melakukan
perjalanan. Ini terutama terjadi di negara-negara berkembang.
IEA juga menyatakan pengeluaran tahunan
rata-rata lebih dari $ 2 triliun antara sekarang dan tahun 2035 untuk investasi
dalam eksplorasi, produksi, transportasi dan penyulingan minyak dan gas;
pembangkit listrik; dan efisiensi energi. Itu berarti investasi tersebut kira-kira
3 kali anggaran militer tahunan Amerika Serikat atau 120 kali anggaran tahunan
NASA setiap tahun selama 20 tahun ke depan.
Memenuhi permintaan energi merupakan
tantangan besar. Namun juga pada saat yang sama diperlukan usaha untuk
mengatasi ancaman nyata terkait perubahan iklim dengan membatasi pemanasan
global sampai dua derajat Celcius. Meningkatnya permintaan untuk energi dan
kekhawatiran atas perubahan iklim, jelas dua hal yang sangat berpengaruh dalam
pengembangan sistem energi kita
Geopolitik juga akan bermain sebagai bagian
penting seperti biasa, dengan potensi untuk mempengaruhi pasokan. Kita juga
akan melihat pengaruh teknologi baru pada cara kita mengakses dan menghasilkan
energi. Efisiensi produksi minyak dan gas harus terus ditingkatkan. Selanjutnya
energi baru dan terbarukan seperti angin, matahari, hidrogen dan bio-energi
harus pula terus ditingkatkan apalagi ke depan diperkirakan akan lebih hemat
biaya untuk memproduksinya.
Kita tidak dapat begitu saja mengharapkan
bahwa pemerintah mampu mengelola pergeseran ke sistem energi yang
berkelanjutan. Tugas penting ini plus pelibatan masyarakat sipil.
Telah lama kita menyadari bahwa gas alam
merupakan bahan bakar serbaguna, berlimpah dan bersih-pembakaran sehingga
target emisi berkurang. Menurut Environment Protection Agency (EPA) angka
pergeseran parsial dari batubara ke gas alam di AS antara 2005 dan 2012
membantu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 15 persen.
Perlu juga dilanjut-kembangkan pekerjaan
perintis (pilot) terkait proyek-proyek Carbon Capture Sequestration (CCS) disamping
melanjutkan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lebih bersih dan
memiliki peran besar dalam sistem energi masa depan.
Kasus Indonesia
Walaupun konsumsi energi primer Indonesia meningkat
lebih dari 50 persen sejak tahun 2000 produksi minyak turun dari puncak
produksi 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 820.000-an barel per hari
(bahkan “proven oil reserve” kita turun lebih dari 1,9 miliar barel
sejak 1992) tapi menurut Karen Agustiawan (mantan Dirut Pertamina) ada beberapa
usaha yang dapat membantu mengamankan masa depan energi Indonesia yaitu
mengurangi ketergantungan pada minyak, menciptakan bauran energi yang
terdiversifikasi melalui energi terbarukan, pengurangan beban subsidi bahan
bakar.
Indonesia tetap tergantung pada minyak untuk
menjalankan roda kegiatan bangsa (mencakupi kira-kira 30 persen dari total
konsumsi energi primer). Ketergantungan ini diperburuk dengan kemampuan
penyulingan yang rendah dan menurunnya produksi minyak bumi yang membuat
Indonesia menjadi net importir minyak.
Karen menyinggung titik kekhawatiran utama
dan kontributor utama bagi ketidakpastian jaringan minyak global diantaranya
guncangan geopolitik di Timur-Tengah. Pergolakan-pergolakan dramatis di Timur-Tengah
merupakan peristiwa yang mempengaruhi harga minyak yang berimbas secara masif
pada masa depan energi serta kesejahteraan perekonomian Indonesia. Apalagi
menurut laporan World Energy Outlook 2012 oleh International Energy
Agency, Asia diprediksi akan menyerap 90 persen ekspor minyak Timur Tengah di
masa mendatang.
Bersyukur, Indonesia berada di posisi yang
lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya dalam menekan ketergantungan pada
minyak, karena Indonesia mempunyai sumber daya energi alternatif. Salah satunya
gas alam, yang sangat membantu dalam situasi sulit seperti saat ini.
Menurut SKK Migas, perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di Indonesia memproduksi sekitar 9 miliar kaki kubik gas alam per
hari, atau 1,5 juta barel setara minyak, yaitu dua-pertiga lebih banyak
daripada produksi minyak. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
bahkan memperkirakan Indonesia mempunyai sumber daya gas sebesar 335 triliun
kaki kubik, setara dengan 59,6 miliar barel minyak.
Tertarik dengan salahsatu rekomendasi IATMI
yang baru-baru ini disampaikan ke Kementerian ESDM yaitu “Pemberdayaan
Kapasitas SDM Nasional di Sektor Hulu Migas”. Untuk mencapai potensi maksimum,
Indonesia bisa belajar dari ahli-ahli asing dan kerjasama dengan pihak asing
yang dapat membantu meningkatkan infrastruktur dan pengetahuan energi. Melalui
kerjasama dengan pihak asing memungkinkan Indonesia mengadopsi praktek terbaik
manajemen dan teknologi dunia, yang pada gilirannya akan memotong kurva belajar
secara signifikan. Contohnya, Pertamina telah memimpin sebuah konsorsium
termasuk ExxonMobil dan Total sejak 2010 untuk mengamankan pasar gas dari
lapangan Natuna Timur. Disini pulalah konsep “triple helix” (academic,
business, government) terutama pemerintah sangat diharapkan peran aktifnya.
Selanjutnya mengeksplorasi gas-gas
nonkonvensional bisa menjadi pilihan untuk menggantikan minyak. Dan Gas Metana
Batubara (CBM) merupakan salah satunya. Sekitar 71 persen dari konsumsi energi
primer di Indonesia tidak lain adalah hidrokarbon. Kecenderungan penggunaan
hidrokarbon seperti minyak, gas dan batubara diprediksi akan tetap mendominasi
energi konsumsi kita di masa depan. Harus disadari bahwa sumber-sumber daya ini
bisa segera habis.
Seperti disinggung di atas, intensitas karbon
seperti initidak hanya akan menyebabkan risiko yang serupa dengan
ketergantungan pada minyak, namun juga kekhawatiran akan polusi berlebihan dan
pemanasan global (emisi gas rumah kaca). Sepantasnya blia kita terus menerus
mencari terobosan untuk mendiversifikasikan bauran energi dan mengurangi
konsumsi hidrokarbon. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa cepat atau lambat
harus meninggalkan minyak mentah sebagai sumber listrik utama.
Potensi panas bumi Indonesia diperkirakan
dapat menghasilkan listrik sebesar 29.000 megawat jika dieksploitasi dengan
sepenuhnya. Saat ini kita hanya menggunakannya 1.200 megawat listrik saja.
Lagi-lagi dukungan pemerintah sangat ditunggu.
Sumber-sumber energi baru terbarukan lainnya
layak dipertimbangkan pula. Misalnya biofuel. Kita memiliki cadangan biomassa
yang besar dari industri pertanian, termasuk gula, karet dan minyak sawit.
Sumber daya lainnya yang berpotensi untuk berkembang adalah bioethanol.
Perkembangan bahan bakar ini telah menjadi bagian dari rencana Indonesia untuk
mengurangi impor energi dan meningkatkan standar kualitas udara. Bercermin pada
Brazil, mereka sangat berhasil mengembangkan bioethanol. Pemerintah Brazil
mulai berinvestasi besar-besaran untuk produksi ethanol sejak krisis minyak di
tahun 1973. Keberhasilannya membuat bioethanol mampu berperan dalam membebaskan
negara itu dari ketidakpastian pasar minyak.
Sumber-sumber energi baru dan terbarukan
lainnya di Indonesia seperti mikrohidro dan tenaga laut, angin laut dan tenaga
surya dapat kita kembangkan pula.
Catatan Akhir
Dunia sedang mengalami dua tantangan utama
yaitu kebutuhan mendesak untuk memenuhi meningkatnya permintaan energi global.
Dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kebutuhan-kebutuhan itu akan sangat sulit untuk memuaskan pada saat yang sama.
Sinergi (kolaborasi lintas sektoral) antara pemangku kepentingan di sektor hulu
Migas (seperti bunyi salah satu rekomendasi IATMI) harus semakin diperkuat,
demikian juga Tata kelola Migas yang efisien dan transparan.
Teridentifikasi ada tiga area perubahan utama
yang diperkirakan bermanfaat bagi masa depan energi Indonesia yaitu Mengurangi
ketergantungan pada minyak dengan mengembangkan sektor gas alam dan gas
nonkonvensional; Diversifikasi bauran energi dengan percepatan rencana untuk
mengeksplorasi sumber-sumber energi terbarukan; Pengurangan beban subsidi
minyak dan mengalokasi dana-dana tersebut ke area - area yang lebih (Deden Supriyatman, Anggota
Dewan Pakar IATMI #02118)
Sumber : Buletin IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia), Vol. 1 - Januari/Februari 2015