Rabu, 13 Mei 2015

MASA DEPAN ENERGI


Tak dapat dipungkiri bahwa energi sangat fundamental bagi peradaban dan tidaklah berlebihan bila dikatakan energi merupakan penopang kehidupan manusia. Energi sangat terkait dengan bagaimana cara kita bekerja, cara kita bepergian, dan cara kita berkomunikasi. Tanpa energi, hhhmmm… lampu mati. Tanpa energi, hidup kita hampir tak bisa dikenali.
Salah satu faktor pembentuk masa depan adalah permintaan energi global yang meningkat - dan akan terus meningkat (ref.: Badan Energi Internasional, IEA percaya bahwa permintaan energi sekitar dua kali lipat pada tahun 2050). Atau menurut laporan BP, konsumsi energi primer di Asia Pasifik diprediksi akan meningkat 63,4 persen menjadi 7.8 miliar setara ton minyak di tahun 2030. Bayangkan populasi dunia diperkirakan tumbuh dari sekitar 7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada petengahan abad ke-21. Semakin banyak pulalah kebutuhan kita akan listrik, TV, kulkas, dan kesempatan untuk melakukan perjalanan. Ini terutama terjadi di negara-negara berkembang.
IEA juga menyatakan pengeluaran tahunan rata-rata lebih dari $ 2 triliun antara sekarang dan tahun 2035 untuk investasi dalam eksplorasi, produksi, transportasi dan penyulingan minyak dan gas; pembangkit listrik; dan efisiensi energi. Itu berarti investasi tersebut kira-kira 3 kali anggaran militer tahunan Amerika Serikat atau 120 kali anggaran tahunan NASA setiap tahun selama 20 tahun ke depan.
Memenuhi permintaan energi merupakan tantangan besar. Namun juga pada saat yang sama diperlukan usaha untuk mengatasi ancaman nyata terkait perubahan iklim dengan membatasi pemanasan global sampai dua derajat Celcius. Meningkatnya permintaan untuk energi dan kekhawatiran atas perubahan iklim, jelas dua hal yang sangat berpengaruh dalam pengembangan sistem energi kita
Geopolitik juga akan bermain sebagai bagian penting seperti biasa, dengan potensi untuk mempengaruhi pasokan. Kita juga akan melihat pengaruh teknologi baru pada cara kita mengakses dan menghasilkan energi. Efisiensi produksi minyak dan gas harus terus ditingkatkan. Selanjutnya energi baru dan terbarukan seperti angin, matahari, hidrogen dan bio-energi harus pula terus ditingkatkan apalagi ke depan diperkirakan akan lebih hemat biaya untuk memproduksinya.
Kita tidak dapat begitu saja mengharapkan bahwa pemerintah mampu mengelola pergeseran ke sistem energi yang berkelanjutan. Tugas penting ini plus pelibatan masyarakat sipil.
Telah lama kita menyadari bahwa gas alam merupakan bahan bakar serbaguna, berlimpah dan bersih-pembakaran sehingga target emisi berkurang. Menurut Environment Protection Agency (EPA) angka pergeseran parsial dari batubara ke gas alam di AS antara 2005 dan 2012 membantu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 15 persen.
Perlu juga dilanjut-kembangkan pekerjaan perintis (pilot) terkait proyek-proyek Carbon Capture Sequestration (CCS) disamping melanjutkan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lebih bersih dan memiliki peran besar dalam sistem energi masa depan.

Kasus Indonesia
Walaupun konsumsi energi primer Indonesia meningkat lebih dari 50 persen sejak tahun 2000 produksi minyak turun dari puncak produksi 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 820.000-an barel per hari (bahkan “proven oil reserve” kita turun lebih dari 1,9 miliar barel sejak 1992) tapi menurut Karen Agustiawan (mantan Dirut Pertamina) ada beberapa usaha yang dapat membantu mengamankan masa depan energi Indonesia yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak, menciptakan bauran energi yang terdiversifikasi melalui energi terbarukan, pengurangan beban subsidi bahan bakar.
Indonesia tetap tergantung pada minyak untuk menjalankan roda kegiatan bangsa (mencakupi kira-kira 30 persen dari total konsumsi energi primer). Ketergantungan ini diperburuk dengan kemampuan penyulingan yang rendah dan menurunnya produksi minyak bumi yang membuat Indonesia menjadi net importir minyak.
Karen menyinggung titik kekhawatiran utama dan kontributor utama bagi ketidakpastian jaringan minyak global diantaranya guncangan geopolitik di Timur-Tengah. Pergolakan-pergolakan dramatis di Timur-Tengah merupakan peristiwa yang mempengaruhi harga minyak yang berimbas secara masif pada masa depan energi serta kesejahteraan perekonomian Indonesia. Apalagi menurut laporan World Energy Outlook 2012 oleh International Energy Agency, Asia diprediksi akan menyerap 90 persen ekspor minyak Timur Tengah di masa mendatang.
Bersyukur, Indonesia berada di posisi yang lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya dalam menekan ketergantungan pada minyak, karena Indonesia mempunyai sumber daya energi alternatif. Salah satunya gas alam, yang sangat membantu dalam situasi sulit seperti saat ini.
Menurut SKK Migas, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia memproduksi sekitar 9 miliar kaki kubik gas alam per hari, atau 1,5 juta barel setara minyak, yaitu dua-pertiga lebih banyak daripada produksi minyak. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan memperkirakan Indonesia mempunyai sumber daya gas sebesar 335 triliun kaki kubik, setara dengan 59,6 miliar barel minyak.
Tertarik dengan salahsatu rekomendasi IATMI yang baru-baru ini disampaikan ke Kementerian ESDM yaitu “Pemberdayaan Kapasitas SDM Nasional di Sektor Hulu Migas”. Untuk mencapai potensi maksimum, Indonesia bisa belajar dari ahli-ahli asing dan kerjasama dengan pihak asing yang dapat membantu meningkatkan infrastruktur dan pengetahuan energi. Melalui kerjasama dengan pihak asing memungkinkan Indonesia mengadopsi praktek terbaik manajemen dan teknologi dunia, yang pada gilirannya akan memotong kurva belajar secara signifikan. Contohnya, Pertamina telah memimpin sebuah konsorsium termasuk ExxonMobil dan Total sejak 2010 untuk mengamankan pasar gas dari lapangan Natuna Timur. Disini pulalah konsep “triple helix” (academic, business, government) terutama pemerintah sangat diharapkan peran aktifnya.
Selanjutnya mengeksplorasi gas-gas nonkonvensional bisa menjadi pilihan untuk menggantikan minyak. Dan Gas Metana Batubara (CBM) merupakan salah satunya. Sekitar 71 persen dari konsumsi energi primer di Indonesia tidak lain adalah hidrokarbon. Kecenderungan penggunaan hidrokarbon seperti minyak, gas dan batubara diprediksi akan tetap mendominasi energi konsumsi kita di masa depan. Harus disadari bahwa sumber-sumber daya ini bisa segera habis.
Seperti disinggung di atas, intensitas karbon seperti initidak hanya akan menyebabkan risiko yang serupa dengan ketergantungan pada minyak, namun juga kekhawatiran akan polusi berlebihan dan pemanasan global (emisi gas rumah kaca). Sepantasnya blia kita terus menerus mencari terobosan untuk mendiversifikasikan bauran energi dan mengurangi konsumsi hidrokarbon. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa cepat atau lambat harus meninggalkan minyak mentah sebagai sumber listrik utama.
Potensi panas bumi Indonesia diperkirakan dapat menghasilkan listrik sebesar 29.000 megawat jika dieksploitasi dengan sepenuhnya. Saat ini kita hanya menggunakannya 1.200 megawat listrik saja. Lagi-lagi dukungan pemerintah sangat ditunggu.
Sumber-sumber energi baru terbarukan lainnya layak dipertimbangkan pula. Misalnya biofuel. Kita memiliki cadangan biomassa yang besar dari industri pertanian, termasuk gula, karet dan minyak sawit. Sumber daya lainnya yang berpotensi untuk berkembang adalah bioethanol. Perkembangan bahan bakar ini telah menjadi bagian dari rencana Indonesia untuk mengurangi impor energi dan meningkatkan standar kualitas udara. Bercermin pada Brazil, mereka sangat berhasil mengembangkan bioethanol. Pemerintah Brazil mulai berinvestasi besar-besaran untuk produksi ethanol sejak krisis minyak di tahun 1973. Keberhasilannya membuat bioethanol mampu berperan dalam membebaskan negara itu dari ketidakpastian pasar minyak.
Sumber-sumber energi baru dan terbarukan lainnya di Indonesia seperti mikrohidro dan tenaga laut, angin laut dan tenaga surya dapat kita kembangkan pula.

Catatan Akhir
Dunia sedang mengalami dua tantangan utama yaitu kebutuhan mendesak untuk memenuhi meningkatnya permintaan energi global. Dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebutuhan-kebutuhan itu akan sangat sulit untuk memuaskan pada saat yang sama. Sinergi (kolaborasi lintas sektoral) antara pemangku kepentingan di sektor hulu Migas (seperti bunyi salah satu rekomendasi IATMI) harus semakin diperkuat, demikian juga Tata kelola Migas yang efisien dan transparan. 
Teridentifikasi ada tiga area perubahan utama yang diperkirakan bermanfaat bagi masa depan energi Indonesia yaitu Mengurangi ketergantungan pada minyak dengan mengembangkan sektor gas alam dan gas nonkonvensional; Diversifikasi bauran energi dengan percepatan rencana untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi terbarukan; Pengurangan beban subsidi minyak dan mengalokasi dana-dana tersebut ke area - area yang lebih (Deden Supriyatman, Anggota Dewan Pakar IATMI #02118)

Sumber : Buletin IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia), Vol. 1 - Januari/Februari 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar